Guna mendukung program hilirisasi industri, beberapa smelter telah dibangun di Indonesia. Namun ternyata, proyek smelter di Indonesia memiliki kesulitan, seperti yang disampaikan oleh Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif di acara Closing Bell CNBC Indonesia, Senin (13/12/2021).
Irwandy mengungkap bahwa sulit bagi smelter untuk mencari pendanaan dan akhirnya mempengaruhi finansial keuangan. Terlebih smelter-smelter juga menggunakan teknologi yang biayanya tidak sedikit.
“Kita semua harus beli. Belum ada teknologi yang berkembang, proven secara ekonomi di dalam pembangunan yang memakai teknologi smelter. Dalam komoditas apapun, ini tantangan utama kita,” kata Irwandy dalam Closing Bell CNBC Indonesia, Senin (13/12/2021).
Selain faktor pendanaan, faktor lainnya yang turut menjadi kesulitan dalam proyek smelter di Indonesia adalah pasokan listrik. Listrik tentu bermanfaat guna menjalankan mesin-mesin yang mengolah barang di sektor perindustrian. Di satu sisi, kini batu bara yang digunakan untuk PLTU juga tertekan.
Faktor terakhir yang jadi kesulitan perkembangan smelter di Indonesia adalah pasokan. Indonesia memang memiliki 30% cadangan nikel dunia, namun bijih nikel dengan kadar lebih dari 1.7% sudah mulai terbatas.
Berdasarkan data Kementerian ESDM cadangan bijih nikel Indonesia yang kadarnya kurang dari 1,7% atau nikel limonit terdapat sebanyak 1,89 miliar ton, lebih banyak dari bijih nikel dengan kadar lebih dari 1,7% atau nikel saprolit sebanyak 1,76 miliar ton.
Mengapa Perlu Smelter?
Indonesia harus melaksanakan hilirisasi industri, di mana barang yang diambil dari hulu harus diolah menjadi produk turunan sebanyak mungkin, sehingga barang jadi tersebut layak untuk diekspor.
Misalnya kita ambil contoh dalam industri nikel. Pembangunan smelter-smelter untuk mengolah bijih nikel menjadi barang jadi, seperti baterai kendaraan listrik hingga mobil listrik masih memiliki hambatan, yaitu salah satunya di faktor pendanaan dan keuangan.
Irwandy mengatakan hingga kini sudah ada 18 smelter yang beroperasi di Tanah Air dengan rincian 13 smelter nikel, 2 smelter bauksit, 2 smelter tembaga, 1 smelter mangan.
Namun diantara smelter yang telah beroperasi tersebut, ada 12 diantaranya yang mengalami kendala pendanaan. Irwandy Arif juga mengatakan pemerintah telah berupaya menemukan 12 perusahaan smelter tersebut dengan pihak perbankan, berharap masalah pendanaan bisa berkurang dan pembangunan smelter berjalan lancar.
“Kalau tidak ada tanda positif harus lapor segera, sehingga masalah bisa diselesaikan,” ujar Staf Khusus Menteri ESDM itu.
Sedangkan untuk permasalahan listrik, pihak pemerintah telah memediasikan dengan PT PLN agar bisa memasok listrik ke proyek smelter di Tanah Air.
“Pemerintah memberikan support yang tinggi kepada mereka-mereka yang serius merealisasikan proyek nilai tambang di bidang minerba,” jelasnya.
2023, Indonesia Stop Ekspor Mineral dan 53 Smelter Beroperasi
Tahun 2023, Indonesia merencanakan pembangunan 53 smelter bersamaan dengan penerapan seutuhnya terkait larangan ekspor mineral mentah.
Secepatnya, permasalah keuangan harus segera diatasi bila ingin mewujudkan mimpi di 2 tahun mendatang tersebut. Diperlukan lebih banyak lagi pendanaan yang juga bisa didapat dari penanaman modal baik itu dari dalam negeri atau dari penanaman modal asing.
Memang, peran investor di sektor perindustrian sangatlah penting. Karena tak hanya melulu soal pendanaan, investor juga bisa melakukan transfer knowledge, skill hingga teknologi mutakhir ke sektor perindustrian yang dibantunya.
Inilah yang diinginkan Presiden Jokowi kala dirinya menantang negara-negara Uni Eropa yang tidak terima dengan kebijakan larangan ekspor, untuk membangun pabrik-pabriknya di Indonesia bila masih menginginkan nikel.
“Kalau ingin nikel silakan, tapi datang bawa pabriknya ke Indonesia, bawa industrinya, bawa teknologinya ke Indonesia,” ungkap Presiden Joko Widodo saat hadir di acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) secara virtual, Rabu (24/11/2021).